Permasalahan
try out terpakai atau uji coba terpakai memang masih menjadi perdebatan dalam
metodologi penelitian, terutama di bidang ilmu sosial. Apa itu sebenarnya try
out terpakai? Sebelumnya, mari kita refresh sejenak terkait dengan
langkah-langkah pokok dalam penelitian. Secara garis besar, semua penelitian
ilmu sosial akan melalui tahapan ini: 1) identifikasi masalah, 2) menyusun
landasan teori dan hipotesis, 3) menentukan variabel, 4) menyusun instrumen
penelitian, 5) sampling, 6) pengambilan data, 7) analisis data, dan 8) menulis
laporan.
Dimakah proses try out itu dilakukan? Proses try out
dilakukan pada tahap menyusun instrumen penelitian agar instrumen yang kita
gunakan dalam pengambilan data sudah teruji validitas dan reliabilitasnya. Lalu
apa itu try out terpakai? Try out terpakai adalah ketika data yang kita ambil
untuk menguji validitas dan reliabilitas instrumen juga kita gunakan sebagai
data penelitian kita. Jadi semisal kita mengambil data 100 subjek untuk menguji
instrumen kita, kemudian data 100 subjek ini kita gunakan kembali untuk menguji
hipotesis kita setelah dikurangi oleh item-item yang tidak valid. Jadi kita
tidak perlu dua kali dalam mengambil data. Mengapa kita melarkukan try out terpakai?
Alasan yang paling umum dan paling logis yang dipakai adalah karena
keterbatasan jumlah subjek kita. Misalkan kita ingin meneliti tentang penderita
AIDS di Yogyakarta. Jika kita harus melakukan dua kali pengambilan data untuk
try out instrumen dan pengambilan data penelitian, tentu akan sangat sulit.
Alasan lain yang sering dipakai lebih ke alasan yang mengada-ada dan didasari
ingin mencari jalan pintas, seperti keterbatasan waktu, keterbatasan dana, dll.
Lalu bolehkah kita melakukan prosedur ini? Sebenarnya
menjawab pertanyaan ini dengan berlandaskan literatur yang kuat akan sangat
sulit, karena sedikit sekali referensi buku atau jurnal yang membahas ini.
Selama ini boleh atau tidaknya melakukan prosedur ini lebih ditentukan oleh
kultur di suatu kampus dan wewenang dari dosen pembimbing dan penguji. Di
kampus UGM, sebagian dosen tidak menyarankan prosedur ini, bahkan sebagian
melarang keras. Namun di beberapa kampus lain, prosedur ini umum dilakukan.
Konon katanya yang menjadi landasan dilakukannya prosedur ini pendapat dari
Prof. Sutrisno Hadi (alm). Namun saya sendiri belum membaca langsung artikel
beliau yang membahas hal itu. Jadi dalam tulisan diskusi ini, saya coba
memberikan pandangan beberapa ahli psikometri dan metodologi terkait prosedur
try out terpakai ini.
Bagaimana pendapat ahli saat ini terkait try out terpakai?
Dari tiga ahli yang saya “kepoin” blognya, semuanya tidak
menyarankan dilakukannya prosedur ini. Prof. Saifudding Azwar, guru besar
Fakultas Psikologi UGM, adalah ahli yang paling keras menentang adanya prosedur
try out terpakai ini. Prof. Azwar mengatakan bahwa prosedur try out terpakai
ini tidak dikenal dalam metodologi penelitian. Try out terpakai itu adalah
mencampuradukan antara tahap persiapan dengan tahap penelitian, biasanya
didorong oleh keinginan ambil jalan pintas saja atau oleh ketidaktahuan. Ini
jelas prosedur yang tidak bisa dipertanggungjawabkan, mengada-ada dan tidak
dikenal dalam literatur formal mengenai metodologi penelitian maupun mengenai
konstruksi alat ukur. Demikian pendapat Prof. Azwar dalam blognya yang mungkin
hingga sekarang dijadikan landasan mahasiswa skripsi maupu tesis di UGM,
sehingga jarang sekali yang berani melakukan prosedur ini.
Meskipun juga tidak menyarankan, namun pendapat lebih
lunak diberikan oleh Pak Agung Santoso (dosen USD) dan Pak Wahyu Widhiarso
(dosen UGM). Pak Agung memandang tryout terpakai bukan praktik yang layak
dilakukan, namun demikian mengingat situasi-situasi keterbatasan (khususnya
dalam penelitian mahasiswa), tryout terpakai merupakan pilihan terbaik.
Pak Wahyu selain memberikan pandangannya juga memberikan
beberapa alternatif solusi. Saya kutip dari blog beliau, Pak Wahyu menjelaskan
bahwa respons subjek tidak hanya dipengaruhi oleh butir-butir saja melainkan
juga banyak faktor salah satunya banyaknya butir. Jadi pengambilan data ketika
try out tidak memenuhi administrasi baku pengukuran dengan menggunakan skala
tersebut. Jika subjek penelitian kita sangat jarang, maka kita bisa menggunakan
subjek yang memiliki karakteristik sama namun mudah didapatkan. Misalnya kita
mau meneliti remaja di lapas, maka try out bisa kita mentryoutkan pada remaja
di luar lapas. Jadi, dalam hal ini karakteristik yang sama adalah remajanya.
Heterogenitas sampel ini akan meningkatkan reliabilitas pengukuran. Jadi lebih
baik gunakan butir yang lebih umum sehingga tidak membatasi respondennya.
Saya sendiri merasa tidak memiliki ilmu yang cukup untuk
menolak atau menyetujui pendapat tiga ahli tersebut. Namun jika ketiga ahli
tersebut sudah memberikan fatwa bahwa prosedur ini tidak disarankan, maka untuk
antisipasi, lebih baik kita mencari alternatif lain, terutama jika kamu kuliah
di UGM. Pada dasarnya try out untuk melihat kualitas instrumen dan pengambilan
data penelitian adalah dua tahap yang berbeda. Pada penelitian skripsi seperti
sudah menjadi template bahwa penelitian yang baik dan unik itu yang
instrumennya dibuat sendiri karena itu berarti memberikan usaha yang lebih.
Padahal secara metodologi hal itu belum tentu benar. Banyak skripsi dan tesis
yang meneliti variabel yang sudah umum diteliti, namun peneliti memaksakan
membuat instrumen sendiri agar terlihat unik. Meski begitu, banyak peneliti
yang ingin membuat skala lagi dengan memodifikasi skala yang sudah ada. Padahal
kalau dicermati di jurnal internasional, jarang sekali peneliti yang membuat instrumen sendiri, kebanyakan justru menggunakan instrmen yang sudah
ada dan teruji validitas reliabilitasnya.
Apakah properti psikometris selalu melekat pada
instrumen?
Tidak, validitas dan reliabilitas
itu bukan melekat pada instrumen, namun melekat pada pengukuran dan skor. Huck
(2009) mengemukakan bahwa estimasi validitas dan reliabilitas pengukuran akan bergantung
pada skor yang diperoleh pada satu kelompok. Perubahan pada kelompok pengetesan
akan merubah nilai kuantitatif validitas dan reliabilitas. Jadi tidak ada lagi
istilah instrumen yang valid dan reliabel, yang ada adalah pengukuran dan skor
yang valid dan reliabel.
Jika memang demikian, apakah
lantas memang try out terpakai adalah jalan keluar ideal, karena try out
terpakai melakukan estimasi pada sampel penelitian yang sesungguhnya. Bahkan
justru estimasi ini yang lebih mengambarkan estimasi reliabilitas instrumen
pada kelompok sampel, sedangkan estimasi pada sampel try out kurang
mengambarkan karena berasal dari kelompok yg berbeda. Pak Wahyu di blognya juga
menjawab permasalahan ini, bahwa prosedur psikometri (menyusun alat ukur) dan statistika (menguji hipotesis) adalah berbeda. Salah satu alternatif yang bisa dipakai adalah
dengan menggunakan pendekatan Item Response Theory (IRT) dalam validasi alat ukur. Estimasi reliabilitas
dengan pendekatan teori klasik memang bersifat sample dependen, artinya akan
berbeda-beda tergantung kelompoknya, namun IRT lebih sample independent.
Pak Wahyu juga menyarankan ketika
melakukan try out, sampel yang dilibatkan adalah representatif, heterogen dan berjumlah
banyak. Jadi, ketika instrumen diberikan pada orang lain, propertinya akan
konsisten. Ketidakonsistenan seringkali terjadi karena saat try out, sampelnya
kurang representatif, dan bahkan justru berbeda. Namun karena reliabilitas itu
terletak pada pengukuran, Jadi setiap pengukuran harus dilaporkan
reliabilitasnya.
Lalu bagaimana harus menyikapi hal ini?
Tujuan utama dilakukan try out adalah agar saat kita
melakukan pengambilan data, instrumen kita sudah valid dan reliabel. Jika
memang sudah banyak penelitian yang menggunakan dan melaporkan validitas dan
reliabilitas instrumen variabel yang ingin kita teliti, maka prosedur try out
bisa kita lewati dan cukup menggunakan skala dan melaporkan hasil penelitian
tentang validitas dan reliabilitas yang sudah ada. Jika di jurnal tidak
melampirkan skala yang digunakan, kita bisa berkorespodensi langsung dengan
penulisnya karena tiap jurnal biasanya menyertakan alamat email si penulis.
Jika memang variabel kita benar-benar baru, barulah kita menyusun sendiri
skalanya. Meskipun
demikian, estimasi reliabilias pengukuran kita harus tetap dilaporkan karena
reliabilitas adalah properti pengukuran.
Alternatif lain menyikapi hal tersebut adalah seperti
yang dikatakan Pak Wahyu. Lebih baik membuat item yang lebih umum sehingga
tidak membatasi responden untuk try out. Misalkan kita ingin meneliti motivasi
berprestasi siswa kelas akselerasi. Jika kita kesulitan menemukan siswa kelas
akselerasi di kota kita, maka jangan gunakan item yang sangat spesifik, seperti
“saya semangat sekolah karena saya bisa lulus dua tahun”. Hal ini tentu akan
membatasi sampel try out kita. Dengan demikian alasan melakukan try out
terpakai karena keterbatasan jumlah subjek ini akan gugur karena kita bisa
mengujicobakan skala kita kepada siswa kelas reguler, asalkan item yang
digunakan tidak terlalu spesifik pada siswa kelas akselerasi.
Try out sendiri bisa dilakukan di tempat yang sama dengan tempat penelitian kita maupun berbeda. Misalkan kita ingin meneliti siswa di Papua. Jika kita harus datang dua kali kesana untuk try out instrumen dan ambil data, tentu akan memakan banyak biaya. Maka alternatifnya, kita bisa melakukan try out di Jawa. Namun kembali lagi, jangan membuat item yang terlalu spesifik dan sampel yang dilibatkan adalah representatif, heterogen dan berjumlah banyak. Meskipun akan ada perdebatan tentang perbedaan karakteristik siswa di Papua dan di Jawa, tapi prosedur ini masih lebih baik daripada tidak melakukan try out sama sekali, apalagi jika mampu dianalisis menggunakan pendekatan IRT yang sample independent. Atau mungkin teman-teman kalau ada referensi yang lebih kuat baik itu jurnal atau buku terkait prosedur ini boleh saling berbagi.
Blog referensi
http://azwar.staff.ugm.ac.id/tanya-jawab/comment-page-15/
http://psikologistatistik.blogspot.co.id/2010/10/sudah-terbit.html
http://widhiarso.staff.ugm.ac.id/wp/kompilasi-tanya-jawab-bagian-1/
Sangat membantu, tenq
ReplyDelete.
.
.
By. Mahasiswa psikologi UIN Suska Riau
Alhamdulillah, semoga bermanfaat. Salam untuk teman-teman Riau dari Malang
DeleteIzin bertanyaa boleh kak?
ReplyDeleteKak izin bertanya boleh kak?
ReplyDeletekeren banget bahasanya pakai bahasa sehari-hari, sehingga ketika membaca seakan-akan mendengarkan penulis mengatakan langsung. terima kasih sangat membantu
ReplyDeleteTulisannya sangat membantu, terimakasih🙏
ReplyDeleteAlhamdulillah Terimakasih
ReplyDeletealhamdulillah bisa dapat informasi yang sangat berguna dan sangat membantu untuk penelitian saya, terima kasih banyak kak, semoga ilmunya menjadi berkah dan bermanfaat buat semua orang yang membutuhkan.
ReplyDelete