Indigenous Psychology merupakan suatu pendekatan yang relatif baru di bidang Psikologi. Pendekatan ini mulai populer terutama bagi kalangan peneliti dari kawasan non-Barat sebagai bentuk reaksi kritis terhadap psikologi mainstream yang berkembang di negara Barat. Asal mula munculnya pendekatan ini dimulai dengan kritikan yang dilontarkan oleh peneliti Psikologi dari negara Timur yang telah menempuh pendidikan di negara Barat. Ketika mereka kembali ke negara asalnya dan ingin mengembangkan Psikologi di negaranya, ternyata mereka menemui banyak sekali kesulitan. Akhirnya mereka mulai mempertanyakan validitas, universalitas, dan penerapan teori Psikologi (Kim, Park, & Park, 2000) Para peneliti ini berkesimpulan bahwa setiap budaya harus dipahami dari bingkai acuannya sendiri, termasuk konteks ekologi, sejarah, filosofi, dan agama yang ada (Kim, Yang, & Huang, 2006)
Kim dan Berry (1993) mendefinisikan Indigenous Psychology sebagai kajian ilmiah mengenai perilaku dan mental manusia yang bersifat pribumi, tidak dibawa dari wilayah lain, dan didesain untuk masyarakatnya sendiri. Tidak seperti psikologi mainstream yang menjunjung tinggi teori-teori yang bersifat universal dan bebas nilai, pendekatan Indigenous Psychology justru mendorong para peneliti Psikologi untuk mampu berpikir secara kontekstual. Teori, konsep, dan metodenya dikembangkan secara indigenous disesuaikan dengan fenomena psikologi yang kontekstual. Tujuan utama dari pendekatan ini adalah untuk menciptakan ilmu pengetahuan yang lebih teliti, sistematis, universal yang secara teoritis maupun empiris dapat dibuktikan (Kim et al, 2006).
Budaya memiliki sumbangan tersendiri terhadap pembentukan konsep psikologis individu. Indigenous Psychology paham akan peran penting budaya dalam mempengaruhi aspek psikologis individu. Namun, Indigenous Psychology bukanlah satu-satunya pendekatan yang mempertimbangkan budaya sebagai faktor yang berpengaruh terhadap proses mental dan perilaku. Kim (2000) menjelaskan setidaknya ada tiga pendekatan yang mepertimbangkan faktor budaya tersebut, yakni psikologi lintas budaya (cross-cultural psychology), psikologi budaya (cultural psychology), dan Indigenous Psychology. Ketiga pendekatan ini mewakili tiga perspektif yang berbeda, yakni perspektif universalist, kontekstualis, dan integrasionis.
Perbedaan mendasar ketiga pendekatan di atas sudah banyak diulas dalam berbagai literatur. Secara garis besar, Psikologi lintas budaya memandang budaya sebagai penyebab munculnya suatu variasi. (Berry, 1976 dalam Greenfield, 2000). Dalam pendekatan ini budaya ditempatkan sebagai sesuatu yang terpisah dari individu. Tujuan dalam metode lintas budaya adalah untuk membuktikan suatu teori atau alat ukur yang sudah teruji secara psikometris ke dalam budaya lain untuk mendapatkan perbandingan. Perspektif universalis yang dikemukakan oleh psikolog lintas budaya ini mendapat sorotan tajam dari psikolog kontekstualis. Kim dan kolega-koleganya (Kim, Hwang, & Yang, 2006) menilai bahwa pendekatan ini mengandung bias Eurosentrisme yang perlu diwaspadai oleh para peneliti psikologi di luar masyarakat Barat.
Berkebalikan dengan pendekatan psikologi lintas budaya, para psikolog budaya menggunakan perspektif kontekstualis dengan asumsi bahwa mentalitas dibentuk oleh konteks budaya (Chiu & Chao, 2009). Budaya dilihat sebagai sesuatu di dalam individu yang sangat penting (Cole, 1990 dalam Greenfield, 2000). Tujuan dalam metode budaya adalah untuk memperoleh prosedur masing-masing budaya dari jalan hidup dan pola komunikasi masing-masing budaya. Masalah yang muncul adalah, psikologi budaya tidak bersumber pada teori psikologi formal melainkan budaya spesifik sebagai sumbernya. Akibatnya, tidak bisa ditemukan unsur universalitas secara psikologis.
Masa Depan Indigenous Psychology
Indigenous Psychology bertujuan untuk melangkah lebih jauh. Indigenous Psychology mengintegrasikan paham kontekstualis akan pentingnya budaya sebagai kesatuan yang dimiliki individu serta mengejar universalitas yang bersumber dari masyarakat lokal itu sendiri. Indigenous Psychology memiliki agenda untuk membangun psikologi global yang merupakan perwakilan dari aspek kesamaan atas temuan-temuan Indigenous Psychology dari berbagai konteks budaya yang masing-masing bersifat saling melengkapi dan berada di dalam posisi yang sederajat (Enriquez, 1993).
Indonesia merupakan negara yang terdiri dari beragam kebudayaan. Dengan keragaman budaya yang begitu luas, Indonesia merupakan ladang yang sangat subur untuk penelitian tentang Indigenous Psychology. Misi Indigenous Psychology untuk menuju psikologi global dapat dimulai dengan memperkuat temuan-temuan indigenous dari dalam negeri. Arah menuju kesana sudah semakin terlihat dengan banyak munculnya pusat studi tentang Indigenous Psychology, seperti Center for Indigenous and Cultural Psychology (CICP) di Fakultas Psikologi UGM, Center for Indigenous and Health Psychology (CIHP) di Prodi Psikologi Universitas Udayana, Center for Indigenous and Islamic Psychology (CIIP) di Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Surakarta, dan Center for Community and Indigenous Psychology (CCIP) Prodi Psikologi Universitas Sebelas Maret.
Sebagai sebuah pendekatan alternatif yang berkembang di Indonesia, Indigenous Psychology tentu saja memberikan angin segar bagi pengembangan aspek teoritis ilmu psikologi yang selama ini masih didominasi oleh teori Barat. Dengan keragaman budaya Indonesia yang begitu luas, Indigenous Psychology hadir untuk penyegaran teori psikologi yang lebih kontekstual dengan budaya bangsa Indonesia. Hal ini juga masih dalam rangka mewujudkan tujuan besar yaitu menuju psikologi global yang berlandaskan atas Indigenous Psychology dari berbagai konteks budaya. Secara garis besar ada dua model indigenisasi yang dilakukan untuk dalam mengembangan psikologi global. yaitu indigenisasi dari jalur luar (indigenization from without) dan indigenisasi dari jalur dalam (indigenization from within) (Enriquez, 1993).
Berbagai penelitiian yang mengacu pada kedua model tersebut sudah banyak dilakukan saat ini. Model indigenisasi jalur luar merupakan model dimana peneliti mengambil konsep, teori, dan metode psikologi yang sudah ada dan memodifikasinya sehingga menjadi fit secara kultural. Di sisi lain, model indigenisasi dari jalur dalam berusaha mengembangkan teori psikologi yang berakar dari konsep-konsep, teori, dan metode penelitian yang sesuai dengan budaya lokal (Kim et al., 2000)
Dengan kedua model di atas, banyak peneliti Indonesia yang sudah memulai untuk meneliti dan mengembangkan teori psikologi formal yang berbasis masyarakat Indonesia. Beberapa penelitian yang berbasis pendekatan Indigenous Psychology diantaranya seperti yang dilakukan As’ad, Anggoro, & Virdanianty (2011) yang meneliti kontruk kepemimpinan model Jawa, Hakim, Thontowi, Yuniarti, & Kim (2012) yang meneliti tentang konsep ngemong dari sisi psikologi, dan Putri, Prawitasari, Hakim, Yuniarti, & Kim (2012) yang meneliti tentang kesedihan dari sisi masyarakat Indonesia.
Dengan mulai banyaknya penelitian dengan pendekatan Indigenous Psychology seperti sekarang, tantangannya adalah bagaimana mengkolaborasikan temuan-temuan yang ada agar tercipta asas universalitas yang dicita-citakan Indigenous Psychology yang berbasis pada budaya lokal. Jangan sampai temuan-temuan yang ada hanya berserakan begitu saja dan tanpa adanya wadah yang mengikatnya menjadi sebuah kerangka teori psiologi Indonesia. Oleh karena itu, penting adanya sebuah kerjasama antar peneliti indigenous psikologi Indonesia atau rencana akan penelitian jangka panjang sampai akhirnya temuan yang terpisah-pisah tadi bisa disatukan menjadi sebuah teori psikologi yang formal.
Selain prospek dalam pengembangan sisi teoritis, pendekatan Indigenous Psychology juga memberikan angin segar bagi pengembangan sisi metodologis, terutama dalam pengembangan alat ukur. Hal ini tentu tidak bisa terlepas dari berkembangannya konsep teoritis yang lebih konteksual dengan budaya Indonesia. Penelitian terkait dengan pengembangan alat ukur ini pernah dilakukan oleh Anggoro & Widhiarso (2010) yang mengembangkan alat ukur kebahagiaan berbasis pendekatan Indigenous Psychology. Dengan alat ukur yang lebih sesuai dengan konteks budaya, diharapkan apa yang ingin diukur jauh lebih valid jika kita menggunakan alat ukur yang berasal dari Barat.
Pekerjaan rumah bagi peneliti psikologi Indonesia dalam membawa Indigenous Psychology menuju psikologi global adalah dengan kolaborasi. Kolaborasi ini termasuk di dalamnya dengan menciptakan situasi akademik yang kondusif dan terprogram dengan baik. Selain itu perlu didorong terus publikasi di skala internasional, baik melalui jurnal maupun konferensi. Dengan asumsi bahwa Indonesia kaya akan potensi kultural, Indonesia berpotensi untuk berkontrubusi seara signifikan dalam pengembangan psikologi global di masa depan.
Referensi:
Anggoro, W. J., & Widhiarso, W. (2010). Konstruksi dan Identifikasi Properti Psikometris Instrumen Pengukuran Kebahagiaan Berbasis Pendekatan Indigenous Psychology: Studi Multitrait-Multimethod. Jurnal Psikologi, 37(2), 176–188.
As’ad, M., Anggoro, W. J., & Virdanianty, M. (2011). Studi Eksplorasi Konstrak Kepemimpinan Model Jawa: Asta Brata. Jurnal Psikologi, 38(2), 228–239.
Greenfield, P.M. (2000). Three Approaches to The Psychology of Culture: Where do They Come From? Where can They Go? Asian Journal of Social Psychology. 3: 223–240
Hakim, M. A., Thontowi, H. B., Yuniarti, K. W., & Kim, U. (2012). The basis of children’s trust towards their parents in Java, ngemong: Indigenous psychological analysis. International Journal of Research Studies in Psychology, 1(2). http://doi.org/10.5861/ijrsp.2012.v1i2.78
Kim, U., & Berry, J. W. (1993). Indigenous psychologies: Experience and research in cultural context. Newbury Park, CA: Sage
Kim, U., Park, Y.-S., & Park, D. (2000). The Challenge of Cross-Cultural Psychology The Role of the Indigenous Psychologies. Journal of Cross-Cultural Psychology, 31(1), 63–75.
Kim, U. (2000). Indigenous, Cultural, and Cross Cultural Psychology: A Theoretical, Conceptual, and Epistimological Analysis. Asian Journal of Social Psychology 3: 265-287.
Kim, U., Yang, K., & Hwang,
K. (Eds.). (2006). Indigenous and cultural psychology: understanding people in context. New York, NY: Springer.
Putri, A. K., Prawitasari, J. E., Hakim, M. A., Yuniarti, K. W., & Kim, U. (2012). Sadness as perceived by Indonesian male and female adolescents. International Journal of Research Studies in Psychology, 1(1). http://doi.org/10.5861/ijrsp.2012.v1i1.22
.
No comments:
Post a Comment