Tulisan ini merupakan inti sari dan sedikit modifikasi dari tulisan Kuzon, Urbancheck, dan McCabe (1996) yang berjudul “The Seven Deadly Sins of Statistical Analysis”. Meskipun artikel tersebut sudah ditulis lebih dari 20 tahun yang lalu, namun kenyataannya dosa-dosa besar tersebut masih banyak dilakukan oleh para peneliti kuantitatif saat ini. Oleh karena itu tulisan ini hanya sebagai pengingat sekaligus menjelaskan kembali dosa-dosa tersebut bagi yang belum tahu. Ketujuh dosa besar dalam analisis statistik tersebut adalah
Friday, February 28, 2020
Tujuh Dosa Besar dalam Analisis Statistik
Tulisan ini merupakan inti sari dan sedikit modifikasi dari tulisan Kuzon, Urbancheck, dan McCabe (1996) yang berjudul “The Seven Deadly Sins of Statistical Analysis”. Meskipun artikel tersebut sudah ditulis lebih dari 20 tahun yang lalu, namun kenyataannya dosa-dosa besar tersebut masih banyak dilakukan oleh para peneliti kuantitatif saat ini. Oleh karena itu tulisan ini hanya sebagai pengingat sekaligus menjelaskan kembali dosa-dosa tersebut bagi yang belum tahu. Ketujuh dosa besar dalam analisis statistik tersebut adalah
Rumus Slovin untuk Menentukan Jumlah Sampel dan Kontroversinya
Untuk
mementukan sampel dari populasi, peneliti perlu menggunakan rumus statistik
untuk menentukan jumlah sampel minimal yang dibutuhkan. Ada beberapa formula
yang dapat digunakan untuk menentukan jumlah sampel dari suatu populasi yang
diketahui. Misal peneliti ingin meneliti IQ orang Indonesia, maka peneliti
dapat mengetahui jumlah populasi dan tahu karakteristik perilaku populasinya
karena IQ selalu mengikuti kurve normal. Namun bagaimana jika peneliti ingin
meneliti opini mahasiswa terhadap partai politik yang tidak diketahui
karakteristik perilaku populasinya? Untuk kasus kedua dimana peneliti tidak
tahu perilaku populasinya, peneliti dapat menggunakan rumus Slovin. Jadi rumus Slovin merupakan rumus untuk menghitung jumlah sampel minimal pada populasi yang tidak diketahui. Rumus ini begitu populer di kalangan mahasiswa, terutama untuk tugas akhir mereka.
Bagaimana menghitung dengan
Rumus Slovin?
Rumus
Slovin dapat dituliskan sebagai berikut
n
= jumlah sampel minimal
N
= jumlah populasi
e
= margin of error / error tolerance
Misal
seorang peneliti melakukan penelitian tentang sikap mahasiswa terhadap partai politik dengan jumlah populasi
1.000 orang, dan peneliti tersebut menetapkan tingkat kesalahan yang
ditoleransi adalah 5%, maka dengan formula tersebut dapat dihitung jumlah
sampel minimal yang diperlukan adalah n = 1.000 / 1 + (1.000x0,05x0,05) = 286.
Dengan demikian penelitian tersebut setidaknya harus melibatkan 286 mahasiswa.
Masalah dengan Rumus Slovin
Rumus
Slovin dapat memberikan gambaran kasar untuk menentukan jumlah sampel. Namun,
rumus non-parametrik ini tidak memiliki ketelitian matematis (Ryan, 2013).
Misalnya, tidak ada cara untuk menghitung power statistik (yang memberikan
informasi seberapa besar kemungkinan penelitian membedakan efek aktual). Padahal ukuran sampel berdampak langsung pada power statistik, sedangkan jika power statistik rendah, akan menghasilkan kesimpulan yang tidak akurat. Selain
itu, tidak jelas dari sumber referensi teks apa tepatnya yang dimaksud
"margin of error" dalam rumus ini. Beberapa teks mengatakan e dalam rumus ini adalah margin of error, beberapa lainnya mengatakan error tolerance. Dilihat dari konteksnya, hampir pasti ini adalah nama lain untuk
menyebut alpha (α) dalam statistik klasik. Lagipula, jika memang e dalam rumus ini adalah margin of error, bagaimana kita bisa menetapkannya terlebih dahulu padahal standar deviasi populasinya saja tidak diketahui. Rumus ini juga hanya masuk akal jika digunakan untuk penelitian yang tujuannya menghitung persentase, bukan untuk penelitian korelasional.
Selain
masalah power statistik dan penggunaan istilah yang kurang tepat, masalah lain yang
menyebabkan rumus ini memiliki reputasi kurang baik di kalangan akademis dunia
(tapi di Indonesia cukup populer) adalah karena asal usul rumus ini yang tidak
jelas muncul dari mana. Sampai saat itu belum diketahui siapakah Slovin yang
dimaksudkan dalam rumus ini. Dalam berbagai literatur juga tidak diketahui
sipakah Slovin yang telah menciptakan rumus ini. Desas-desus yang berhembus, rumus
ini diciptakan oleh Michael Slovin, namun desas-desus yang lain mengatakan
bahwa Slovin yang dimaksud adalah Mark Slovin, Kulkol Slovin, dan ada pula
Robert Slovin, entah mana yang betul.
Di
buku statistika dan metodologi penelitian terbitan Indonesia, sepertinya
bukunya Arikunto dan Sugiyono, rumus ini banyak disebutkan, begitupun cara
menghitungnya. Di buku terbitan asing pun juga ada, seperti di buku “Elementary Statistics: A Modern Approach”
oleh Altares et. Al (dalam buku itu disebut Sloven). Terlebih lagi, beberapa
website tentang statistika juga banyak yang mencantumkan cara menghitung dengan
rumus ini. Namun semuanya tidak ada yang mensitasi satu dokumen yang dijadikan
rujukan rumus tersebut. Wikipedia, tempat dimana segala informasi ada di sana
juga tidak mampu memberikan keterangan lebih lanjut mengenai siapakah rumus ini
dan siapakah penemunya. Di berbagai forum peneliti dunia, seperti di Researchgate atau di Stackexchange, siapakah Slovin ini sesungguhnya juga masih
menjadi perdebatan (lebih ke arah olok-olok terhadap asal-usul Slovin ini
sebenarnya).
Rumus
ini sendiri begitu populer di beberapa negara berkembang, terutama di Indonesia
dan Filipina karena buku metodologi penelitian yang banyak disitasi di kedua
negara tersebut menyebutkan rumus ini. Rumus ini sering dijadikan justifikasi
mahasiswa untuk mengerjakan skripsinya ketika kebingungan mencari berapa jumlah
sampel ideal untuk penelitian mereka. Meskipun sekilas rumus ini nampak
sederhana dan praktis, seolah-olah kita bisa langsung tahu bahwa sampel minimal
yang diambil dari rumus nantinya mempunyai tingkat kesalahan sesuai dengan
rumus ini. Namun kenyataannya ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam
menentukan sampel, setidaknya dari tiga komponen statistik yaitu statistical power, effect size, dan signifikansi (baca lebih lanjut di sini). Selain itu, dari berbagai
tinjauan literatur, tampaknya tidak ada orang bernama Slovin yang mengajukan
rumus ini. Yamane (1967) adalah referensi tertua dimana rumusnya dapat
ditemukan.
Nampaknya
rumus Slovin ini adalah rumus yang populer yang berasal dari tradisi turun
menurun yang diajarkan guru kita. Meskipun demikian, dokumen tertulis yang
menyebutkan siapakah sesungguhnya Slovin itu masih belum jelas. Jadi, nampaknya
kita perlu memutuskan rantai ajaran turun-temurun ini, dan menjadikan rumus
Slovin ini sebagai guyonan statistik saja, seperti yang dilakukan para ahli
metodologi di Barat sana. Khususnya bagi teman-teman peneliti yang memang
mengincar publikasi ke jurnal internasional, jangan sampai nanti malah artikel
kita yang jadi guyonan karena masih menggunakan rumus yang tidak jelas
asal-usulnya.
Referensi
Ryan,
T. (2013). Sample Size Determination and
Power. John Wiley and Sons.
Yamane,
T. (1967). Statistics: An Introductory
Analysis, 2nd Edition, New York: Harper and Row.
Tuesday, February 18, 2020
Menentukan Jumlah Sampel Minimal Penelitian dengan G*Power
Salah
satu pertanyaan yang paling sering ditanyakan mahasiswa ketika hendak mengambil
data adalah, berapa jumlah sampel yang tepat untuk penelitian saya. Di tulisan
sebelumnya saya sudah mengulas tentang jumlah sampel minimal dan juga tentang
konsep signifikansi, statistical power,
dan effect size. Di tulisan kali ini
saya akan mengulas bagaimana cara menghitung jumlah sampel minimal serta statistical power yang diperoleh dengan
bantuan software G*Power.
G
* Power adalah software untuk menghitung statistical
power atau kekuatan uji statistik untuk berbagai uji t, uji F, uji χ2, uji
z, uji korelasi, dan uji statistik lainnya. G * Power juga dapat digunakan
untuk menghitung ukuran efek (effect size)
dan untuk menampilkannya secara grafis hasil analisis, sehingga software ini
juga cocok digunakan untuk melakukan studi simulasi dan proses pengajaran.
Sebenarnya G*Power dapat digunakan untuk mengestimasi lima hal berikut: (1) A
priori (ukuran sampel N dihitung sebagai fungsi dari power 1 - β, level
signifikansi α, dan effect size
populasi yang tidak terdeteksi), (2) Compromise (baik α dan 1 - β dihitung
sebagai fungsi effect size, N, dan
rasio probabilitas kesalahan (q = β / α)), (3) Kriteria (α dan kriteria
keputusan terkait dihitung sebagai fungsi 1 - β, effect size, dan N), (4) Post-hoc (1 - β dihitung sebagai fungsi α,
effect size populasi, dan N), dan (5)
Sensitivitas (effect size populasi
dihitung sebagai fungsi α, 1 - β, dan N). Tulisan ini hanya akan fokus pada
fungsi pertama, yaitu fungsi apriori untuk menentukan jumlah sampel berdasarkan
power, level signifikansi, dan effect
size. Jika menginginkan untuk mendownload software G*Power, anda dapat
mendownloadnya secara gratis di sini
Untuk
menentukan sampel minimal pada uji statistik, ada beberapa langkah yang harus
dilakukan
1.
Menentukan
jenis analisis yang akan diestimasi. Jenis analisis bervariasi, tergantung dari
jenis data dan hipotesis yang ingin dijawab. Untuk melihat jenis analisis
secara lengkap bisa dilihat di sini.
2. Menentukan
level signifikansi (α ) yang hendak digunakan dalam penelitian. Dalam penelitian
di Psikologi, pada umumnya level signifikansi yang ditoleransi adalah 0,05 atau
0,01. Jika kita menghendaki kecermatan yang tinggi kita bisa menggunakan level
signifikansi 0,01; namun secara umum level signifikansi 0,05 sudah diterima.
3.
Menentukan
statistical power yang diharapkan. Pada
umumnya dalam penelitian Psikologi, statistical power yang diharapkan yaitu
yang tinggi, setidaknya di atas 0,80 (80%).
4.
Menentukan
effect size yang diharapkan. Jika
dalam menentukan level signifikansi dan power pada umumnya sudah ada
standarnya, menentukan effect size ini
sedikit tricky karena kita belum memiliki effect
size karena belum mengambil data. Lalu bagaimana cara kita menentukan effect size yang kita harapkan? Ada dua
cara: pertama, dengan melihat effect size
penelitian-penelitian sebelumnya yang meneliti variabel yang sama. Effect size penelitian sebelumnya dapat
kita jadikan referensi untuk jadi dasar kita menentukan effect size yang diharapkan. Jika memang belum ada penelitian
sebelumnya, cara yang kedua yaitu menggunakan penilaian klinis untuk menentukan
besaran efek terkecil yang dianggap relevan. Misal kita ingin menguji hubungan
X dan Y dan kita menghendaki analisis kita sensitif untuk menguji korelasi
dengan efek kecil sekalipun, maka kita dapat menuliskan effect sizenya sebesar 0,1. Sebagai referensi, kita dapat melihat
klasifikasi effect size dari Cohen di
tabel di bawah.
5.
Menentukan
tail(s) yang akan digunakan. Banyaknya tail(s), apakah one-tail atau two-tails
tergantung dari apakah hipotesis kita memiliki arah atau tidak. Penjelasan mengenai
one-tail atau two-tails dapat dibaca di sini.
Jika
kita sudah menentukan hal di atas, maka kita bisa mengestimasi jumlah sampel
minimal yang dibutuhkan untuk penelitian kita.
Menentukan sampel minimal uji
korelasi dengan G*Power
Untuk
menentukan jumlah sampel minimal untuk uji korelasi, maka kita atur sebagai
berikut
1.
Klik
test – correlation and regression –
correlation: bivariate normal model
2.
Pilih
type power analysis A priori: compute
required sample size – given α, power, effect size
3.
Jika
hipotesis kita belum memiliki arah, maka isikan tail(s) dengan two
4. Correlation ρ
H1 merupakan
effect size atau nilai korelasi yang
dikehendaki. Misal penelitian sebelumnya sebagian besar menemukan hasil
korelasi r = 0,2; maka kita bisa isikan 0,2
5.
α err prob merupakan level signifikansi
yang ditoleransi, kita bisa isikan 0,05
6.
Power (1 – β err prob) merupakan power statistik
yang diharapkan, kita bisa isikan 0,80
7.
Correlation ρ
H0 merupakan
hipotesis null kita, kita bisa isikan 0
Jika
semua paramnater sudah diisi, maka klik calculate
dan kita bisa lihat jumlah sampel minimal di total sample size. Dari output di sampingnya kita dapat lihat bahwa
jumlah sampel minimal yang dibutuhkan adalah 193 subjek.
Menentukan sampel minimal uji
t kelompok independen dengan G*Power
Untuk
menentukan jumlah sampel minimal untuk uji t kelompok independen, maka kita
atur sebagai berikut
1.
Klik
test – means – two independent groups
2.
Pilih
type power analysis A priori: compute
required sample size – given α, power, effect size
3.
Jika
hipotesis kita belum memiliki arah, maka isikan tail(s) dengan two
4.
Effect size d merupakan effect size yang dikehendaki. Misal
penelitian sebelumnya sebagian besar menemukan hasil d = 0,5; maka kita bisa
isikan 0,5. Namun tidak semua penelitian melaporkan nilai d karena by default,
software seperti SPSS tidak bisa mengeluarkan nilai d secara otomatis. Jika memang
demikian kita bisa klik determine di samping kiri, lalu isikan nilai mean dan SD masing-masing kelompok.
5.
α err prob merupakan level signifikansi
yang ditoleransi, kita bisa isikan 0,05
6.
Power (1 – β err prob) merupakan power statistik
yang diharapkan, kita bisa isikan 0,80
7. Allocation ratio N2/N1 merupakan perbandingan jumlah
kelompok 1 dan 2. Jika kita menghendaki kedua kelompok jumlahnya sama, maka
kita bisa isikan angka 1
Jika
semua paramnater sudah diisi, maka klik calculate
dan kita bisa lihat jumlah sampel minimal di total sample size. Dari output di sampingnya kita dapat lihat bahwa
jumlah sampel minimal yang dibutuhkan adalah 128 subjek, dengan masing-masing
kelompok berjumlah 64 subjek.
Cara
di atas merupakan cara top-down, artinya dari awal kita sudah menentukan jumlah
sampel dari parameter yang sudah diketahui. Meskipun demikian, ketika kita
sudah mengambil data dan melakukan analisis, kita bisa mengulangi analisis
tersebut dengan memasukkan nilai effect size yang sesungguhnya kita peroleh
dari data. Misalnya, pada analisis pertama dengan uji korelasi, setelah
dianalisis dengan sampel sejumlah 193 subjek (sesuai yang direkomendasikan di
atas), ternyata nilai korelasinya sebesar 0,25. Kemudian kita masukkan kembali
nilai effect sizenya 0,25 dan diperoleh hasil total sample size yang dibutuhkan
adalah 123 dan power > 0,80. Dengan demikian sampel kita sudah memenuhi kriteria.
Sunday, February 16, 2020
Signifikansi, Effect Size, Statistical Power, dan Besaran Sampel
Bagi
peneliti kuantitatif, konsep dari signifikansi, besaran efek (Effect Size), kekuatan uji statistik (Statistical Power), dan besaran sampel
merupakan konsep dasar yang harusnya dipahami. Namun kenyataannya, di mata
kuliah statistika, tidak semua dosen menjelaskan konsep dasar ini, dan tidak
semua dosen menjelaskan dengan tepat empat konsep ini. Penelitian Psikologi,
terutama yang menggunakan pendekatan eksperimen sebagian besar ingin
membandingkan apakah terdapat perbedaan variabel antara dua kelompok atau
lebih. Misalnya sebuah penelitian ingin menguji apakah terapi psikologis mampu
meningkatkan kepercayaan diri subjek. Penelitian dilakukan dengan desain between subject dengan kelompok kontrol
dan eksperimen, dimana kelompok kontrol tidak diberi terapi, sedangkan kelompok
eksperimen diberi terapi. Penelitian tersebut memiliki hipotesis bahwa “terdapat perbedaan kepercayaan diri antara
kelompok kontrol dan kelompok eksperimen, dimana kelompok eksperimen memiliki
kepercayaan diri yang lebih tinggi”.
Statistik
inferensial tradisional tidak menguji hipotesis tersebut, melainkan menguji
hipotesis null yang menyatakan bahwa “tidak
ada perbedaan kepercayaan diri antara kelompok kontrol dan eksperimen”. Pendekatan
ini sering disebut dengan Null Hypothesis
Significance Testing (NHST). Peneliti melakukan uji statistik dengan independent sample t-test. Jika
probabilitas jangka panjang data yang diobservasi muncul di bawah hipotesis null
sangat rendah (misal di bawah 5%), peneliti menyimpulkan bahwa hipotesis null
sangat kecil kemungkinannya untuk benar. Karena sangat kecil kemungkinan bahwa
hipotesis null benar, maka peneliti menolak hipotesis null, dan menyimpulkan
bahwa terapinya memberikan efek positif terhadap kepercayaan diri. Uji statistik
tradisional ini memiliki beberapa paramater untuk memastikan kesimpulan tepat,
yakni kriteria signifikansi, Effect Size,
dan Statistical power, dan besaran
sampel. Tulisan ini akan memberikan gambaran empat konsep ini dan bagaimana
hubungan di antara keempatnya.
Kriteria Signifikansi
Dalam
statistik tradisional, kesalahan Tipe I dilambangkan dengan simbol α (alfa),
dan merupakan probabilitas jangka panjang sebuah penelitian menolak hipotesis null,
ketika hipotesis null benar. Sebagian besar penelitian Psikologi dan humaniora
memberikan toleransi 5% (α = 0.05) terhadap terjadinya kesalahan Tipe I atau
atau biasa disebut false positives. Hal
ini berarti, dalam pengambilan data yang dilakukan berkali-kali dengan batas
tidak terhingga, terdapat kemungkinan 5% atau kurang bahwa efek yang ditemukan
dalam observasi sebenarnya tidak ada. Toleransi terhadap kesalahan Tipe I
dilambangkan dengan p, sehingga nilai p di bawah 0,05 (di bawah batas
toleransi) dianggap sebagai temuan yang signifikan dan sebaliknya. Dalam contoh
penelitian eksperimen di atas, jika menggunakan kriteria p < 0,05 artinya peluang
peneliti salah menyimpulkan bahwa terapinya memiliki efek positif, padahal
terapi tersebut tidak memiliki efek positif adalah sebesar 5%.
Kekuatan uji statistik (statistical power)
Dalam
statistik tradisional, kesalahan Tipe II dilambangkan dengan simbol β (beta),
dan merupakan probabilitas jangka panjang sebuah penelitian gagal menolak
hipotesis null, ketika hipotesis null tidak benar. Kekuatan uji statistik
(power) dalam statistik inferensial tradisional merupakan kontrol terhadap kesalahan
Tipe II atau disebut juga sebagai false
negatives (1- β). Sebagian besar
penelitian Psikologi dan humaniora memberikan toleransi 20% terjadinya
kesalahan Tipe II, sehingga penelitian-penelitian tersebut memiliki Statistical power sebesar 80% (Cohen,
1990). Hal ini berarti, dalam pengambilan data yang dilakukan berkali-kali
dengan batas tidak terhingga, terdapat kemungkinan 80% atau lebih untuk
menyimpulkan bahwa suatu efek tidak ada, ketika efek tersebut memang tidak ada.
Secara
umum antara signifikansi (α) dan Statistical power (1- β) memiliki hubungan
yang positif. Seperti terlihat pada gambar di bawah, jika kita meningkatkan
level signifikansi (α), maka kita akan mengurangi daerah penerimaan hipotesis
null. Berkurangnya daerah penerimaan ini secara otomatis meningkatkan nilai
beta. Meningkatnya nilai beta akan menunjukkan nilai kekuatan uji
bertambah.
Besaran efek (effect size)
Besaran
efek (effect size) menunjukkan
perbedaan terstandar antara skor dari kelompok kontrol dan eksperimen. Dalam
penelitian, peneliti tidak hanya tertarik pada perbedaan antara kelompok
kontrol dan eksperimen, namun juga seberapa besar perbedaan antara kelompok
kontrol dan kelompok eksperimen. Effect
Size merupakan satuan standar, artinya, Effect
Size dapat dibandingkan antar beberapa skala yang berbeda dan dapat
dibandingkan antar beberapa penelitian dengan besaran sampel yang berbeda-beda.
Dalam contoh penelitian eksperimen di atas, Effect
Size yang dapat digunakan adalah Cohen’s d, yang semakin besar nilainya
maka semakin besar perbedaan antara kelompok kontrol dan kelompok eksperimen. Effect Size ada beragam jenisnya sesuai
jenis analisanya, misal Effect Size
untuk uji beda dua kelompok menggunakan Cohen’s d, Effect Size uji korelasi menggunakan koefisien r, dan Effect Size Anova menggunakan Eta
squared. Klasifikasi Effect Size pada
berbagai jenis analisis dapat dilihat pada tabel di bawah.
Besaran sampel
Besaran
sampel dalam statistik inferensial tradisional dapat dihitung dengan
memanfaatkan dinamika relasi antara parameter-parameter yang telah dijabarkan sebelumnya.
Formula untuk menentukan besaran sampel berdasarkan tiga paramater sebelumnya
adalah sebagai berikut.
Besaran sampel uji beda dua
kelompok
Besaran sampel uji korelasi
Sebagai
contoh, jika penelitian eksperimen di atas menghendaki kriteria signifikansi p
< 0,05 two-tailed dan power, 1-β = 0,80 dan mengharapkan Effect Size sebesar 0,5. Dengan demikian
dapat dihitung Z1-α/2 = 1,960 dan Z1-β = 0,842 (menggunakan tabel distribusi
normal) sehingga diperoleh besaran sampel 2*((1,960+0,842)/0,5)^2 = ~ 64 subjek
per kelompok.
Bagaimana
jika peneliti hanya menggunakan 30 subjek saja per kelompok? Dengan memasukan
ke formula, dengan Effect Size dan
kriteria signifikansi yang sama, maka akan diperoleh power sebesar 0,478. Hal
ini berarti, penelitian dengan sampel 30 subjek memiliki taraf kesalahan Tipe
II sebesar 52,2%. Dengan kata lain, terdapat 52,2% kemungkinan dalam penelitian
ini untuk menolak hipotesis null, padahal hipotesis null tersebut benar. Taraf
kesalahan sebesar 52,2% ini melebihi toleransi kesalahan Tipe II sebesar 20%
dalam sebagian besar penelitian Psikologi dan humaniora.
Ketika
kesalahan Tipe I dan II dikontrol, secara umum hubungan antara Effect Size dan jumlah sampel dapat
ditunjukkan pada gambar di bawah ini.
Dari
gambar terlihat bahwa Effect Size
memiliki hubungan negatif dengan jumlah sampel. Untuk mendeteksi Effect Size yang kecil, dibutuhkan
sampel yang lebih banyak, dan sebaliknya. Selain itu, Effect Size memiliki relasi eksponensial dengan besaran sampel.
Ketika Effect Size yang diharapkan
kecil, maka jumlah sampel yang dibutuhkan untuk mendeteksi suatu efek bertambah
secara eksponensial menjadi sangat besar dan sebaliknya.
Dalam
penelitian psikologi dan humaniora seringkali peneliti mengontrol taraf
kesalahan Tipe I, namun tidak mengontrol taraf kesalahan Tipe II dan tidak
mempertimbangkan Effect Size dalam pengambilan
keputusan. Ketika taraf kesalahan Tipe II tidak dikontrol, Effect Size yang terhitung biasanya merupakan overestimasi, dan
ketika Effect Size ini digunakan
untuk menghitung Statistical power
dalam penelitian replikasi, hasil penelitian sebagian besar tidak mereplikasi
temuan sebelumnya. Oleh karena itu, dalam menentukan sampel, peneliti hendaknya
memperhatikan keempat paramater tersebut.
Berapa Ukuran Sampel Ideal dalam Penelitian Kuantitatif?
Dalam
penelitian kuantitatif di Psikologi, salah satu pertanyaan yang paling banyak
ditanyakan adalah berapa jumlah sampel yang ideal untuk penelitian saya. Di
beberapa literatur dijelaskan cara menentukan jumlah sampel minimal dari suatu
populasi yang diketahui. Yang paling populer, misalnya dengan melihat tabel Krejcie,
tabel Isaac, atau rumus Slovin, meskipun beberapa peneliti juga meragukan
referensi dari cara tersebut. Masalahnya, di Psikologi sebagian besar penelitian
tidak diketahui jumlah populasinya dan penelitian hanya difokuskan pada
variabel. Apalagi pada penelitian
eksperimen, besarnya sampel tidak ditentukan oleh besarnya populasi. Hal ini menyulitkan
peneliti untuk menentukan berapa jumlah sampel minimal yang dibutuhkan.